Belajar Menempatkan Pendapat Sesuai Dengan Porsinya
Di fase sekarang saya mulai
mengerti mengapa orang-orang sering mengatakan kepada saya ketika muda sebuah
kalimat yang kalo saya tidak salah ingat kurang lebih berbunyi “ Hidup itu
jangan terlalu dipikir, tapi dijalani.”
Ahhh, dulu saya tidak ingin mengakuinya,
tetapi saat ini saya mulai mengerti. Banyak kata-kata seperti itu yang
dahulunya sering saya acuhkan sekarang menjelma menjadi sesuatu yang saya
butuhkan. Hidup memang bukan untuk dipikir tapi untuk dijalani. Apapun yang
kita lakukan, suka atau tidak, kita selalu akan mendapatkan konsekuensi
darinya. Kita tidak bisa berharap dunia
mengerti kita. Apapun yang kita lakukan akan menuai reaksi, entah itu reaksi
yang kita inginkan atau reaksi yang tidak kita inginkan. Tidak ada dinding yang
mampu menahan semua komentar orang lain terhadap apa yang kita lakukan dan
katakan. Setebal apapun dinding itu, ia takkan mampu menyembunyikan kita dari
dunia.
Saat kita tengah dihakimi dan
dinilai oleh sekitar kita, apakah dengan bersembunyi menjadikan kegiatan mereka
menghakimi dan menilai kita akan berhenti? Mungkin itu akan menghentikan kita
mendengar, tapi tidak menghentikan mereka untuk berbicara. Menulikan telinga,
membutakan mata, dan membisukan mulut mungkin akan menjadi senjata terbaik.
Berpura-pura bodoh, memasang senyum palsu mungkin sudah menjadi topeng bagi
semua orang yg sudah mengerti arti kehidupan. Apakah itu salah? Tidak juga, toh
ada yang bilang bahwa dunia ini panggung sandiwara dengan masing-masing orang
yang bertindak sebagai pemain dengan topengnya masing-masing.
Saya pernah dinasehati oleh kawan,
jangan mudah percaya oleh orang lain. Semua orang itu memakai topeng. Liat
baik-baik, baca baik-baik dan kenali dengan baik karakter apa yang dia mainkan.
Jika kamu sudah memahami cara menghadapinya dan dia tidak merugikanmu maka
berkawanlah dengan dia. Jikalau karakternya bukanlah karakter yang kamu kira itu
akan baik dalam hidupmu maka jangan masukkan karakternya ke dalam panggung
hidupmu.
Memang terdengar kejam, namun itu
masuk akal. Logis. Tidak ada seorang pun yang mau merugi bukan? Disini saya
tekankan, kerugiannya bukan melulu berupa materi, namun juga secara perasaan,
pikiran, atau waktu. Saya bukannya melarang untuk memiliki banyak teman.
Memasukkan karakter ke dalam panggung hidup bukan mengacu secara fisik, tapi
secara peran. Jika kita punya teman (baik sahabat karib maupun yang hanya
sekedar kenal) sebanyak 100 orang, apakah mereka semua akan memiliki peran
dalam hidup kita? Tentu tidak. Membiarkan 100 orang masuk ke hidup kita dan
memiliki peran akan sangat merepotkan. Mau beli rumah, harus tanya pendapat
mereka, mendengarkan dan menimbang semua saran dari mereka. Punya pacar, harus
peduli kata 100 orang teman dan belum lagi keluarga dan saudara yang lain.
Mumet kan jadinya? Nah, itu yang saya maksudkan sebagai peran.
Kita harus mampu menempatkan
orang-orang yang ada dalam hidup kita sesuai dengan porsi dan perannya
masing-masing. Berikan batas yang jelas antara orang lain yang cuman numpang
lewat, orang yang sukanya berkomentar tanpa diminta berkomentar, teman yang
sekedar kenal, teman lumayan akrab, sahabat karib, tetangga, pacar, sodara,
dll. Putuskan batas mana yang komentarnya akan kalian pertimbangkan dalam
mengambil sebuah keputusan, selain dari batas itu IGNORE THEM! Simple right?


Comments